”Alhamdulilah Intisari sdh ada nih, kata agen sih sudah ada sejak Senin kemaren, berhubung saya sdh langganan jadi disisain. Koq tumben ya terbitnya cepat, gak hari Rabu minggu pertama gitu seperti biasa? … Atau mungkin karena bulan ini Intisari ultah?”
Komentar bulan ini ”… cover yang menarik. Paling enggak temen kantor ada yang berucap ’ternyata sekr Intisari modis ya….”
Membaca cuplikan obrolan miliser tersebut, segera terasa keakraban sebuah komunitas. Anda yang tidak kenal Intisari akan merasa tersesat masuk ruangan penuh orang yang sedang reuni dan Anda satu-satunya orang luar.
Bersyukurlah kepada kemajuan teknologi. Masa kini, ngobrol di ruang maya, di mana pesertanya tak perlu memikirkan tampilan ”pantas”, sudah jadi kaidah umum. Bebas, cair, dan spontan.
Ke dalam masa itulah majalah Intisari terseret oleh putaran waktu. Menoleh ke belakang, 45 tahun silam, alangkah jauh. Ketika itu seorang mahasiswa doktoral di Fakultas Sospol Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, diminta menjadi pemimpin redaksi majalah baru pengganti mingguan Star Weekly yang baru saja dibredel. Yang meminta PK Ojong, pemimpin redaksi mingguan itu, dan yang diminta Jakob Oetama.
Runding punya runding, disepakatilah majalah itu akan terbit bulanan, bersifat informasi yang menghadirkan pengetahuan populer. Soalnya, ada niat menjawab kehausan masyarakat Indonesia akan bahan bacaan akibat politik isolasi informasi internasional.
Tak berbaju
Intisari nomor satu lahir tak berbaju pada 17 Agustus 1963. Artinya, sampulnya cuma halaman daftar isi. Kertasnya pun kertas koran. Mengapa terbit pas Hari Proklamasi? Ternyata alasannya cukup muluk: ”turut berusaha membentuk dan memperkaya manusia Pantjasila Indonesia”. Oleh karena itu, pengasuhnya dalam kata pengantar bertekad akan mengusahakan agar isi majalah ini enak dibaca.
Pada nomor perdana itu, Drs Nugroho Notosusanto mengobrol tentang kota London. Edisi setebal 128 halaman itu diramaikan juga oleh Soe Hok Djin (kemudian menjadi Arief Budiman) yang berkisah tentang pengalamannya di Ubud, Bali. Tan Liang Tie dengan gayanya yang renyah berkisah tentang pelari maraton, Emile Zatopek.
Baru edisi nomor 6, Januari 1964, akhirnya majalah ini mulai berbaju. Tetapi, menjelang usia kedua, PK Ojong dan Jakob Oetama repot membidani ”adik” Intisari yang kelak jauh melebihi kakaknya. Pengelolaan Intisari pun pindah ke tangan Irawati. Lumayan juga, walau baru sekitar dua tahun usianya, pada masa awal kehidupan ”bayi” Kompas, Intisari sempat berperan sebagai ”ibu susu”-nya.
Sudah sejak awal kisah tentang tokoh-tokoh dunia terjalin dengan kisah-kisah dari ranah sejarah (Perang Dunia II) atau arkeologi. Penulis, seperti Asrul Sani, Pak Kasur, Mohammad Roem, Prof Dr Slamet Iman Santoso, Soe Hok Gie, Haryati Soebadio, dan Driyarkara SJ, hanya beberapa contoh nama yang telah atau bakal menjadi tokoh pada masa mendatang yang turut memeriahkan isi Intisari. Jangan pula dilupakan peran penulis tetap, seperti Tan Fay Tjhion (human interest), Tjiptono Darmaji (kedokteran), Siswadhie (kepurbakalaan), Slamet Soeseno (flora-fauna), dan HOK Tanzil (perjalanan). Juga Paula Isman (ilustrasi sampul) dan Bisono (ilustrasi isi).
Repotnya bulanan
Empat puluh lima tahun bertahan sebagai majalah nasional tentu patut disyukuri. Hanya saja, ”prestasi” itu sekaligus juga memanggul stigma. Angka itu mengingatkan orang pada sosok manusia setengah baya yang mulai terseok-seok.
Menyadari itu, dari waktu ke waktu Intisari terus berupaya menjawab kebutuhan masyarakat. Itu sebabnya, pada masa sulit yang berpotensi bikin orang putus asa ini, Intisari memunculkan rubrik ”Inspirasi” yang diisi para motivator profesional. James Gwee, misalnya, pernah menulis bahwa salah satu kesalahpahaman terbesar adalah berpikir bahwa orang sukses itu tidak pernah keliru.
Ketika tulisan tentang tujuh keajaiban dunia dimuat pada Juli 2007, seorang pembaca protes karena Intisari belum memuat hasil akhirnya (yang memang belum ada saat majalah ini turun cetak). Inilah sulitnya mengasuh majalah bulanan.
Menuntut pemred diganti
Tahun ini dengan slogan ”lebih segar dan elegan”, tampilan dan logo Intisari berubah meski jelas ada batas tak kasatmata yang tak mungkin dilangkahi. Intisari bukanlah majalah gaya hidup. Apa boleh buat. Bagi sementara orang, Intisari mungkin tetap akan terasa ”serius”. Tetapi, bagi yang lain, ”Intisari menyajikan ilmu dengan santai”. Malahan soal logo baru saja ada yang kecewa karena dianggap kurang ”berwibawa”.
Menjadi pengasuh majalah ibarat mengasuh banyak ”anak” dengan pembawaan beragam. Saat mutu penjilidan majalah ini beralih dari buruk ke semakin buruk, seorang pembaca sampai mempunyai niat berdemo di depan kantor redaksi. Ia menuntut pemimpin redaksi diganti kalau mutu penjilidan tidak kunjung membaik!
Agar dapat bertahan, redaksi menyadari betul bahwa majalah ini harus terus berupaya menjawab kebutuhan zaman. Istilah kerennya, ”Menjadi inspirasi”. Biar ketika ada yang bertanya heran, ”Emang Intisari masih ada?”, maka akan semakin banyak yang menjawab dengan nada tak kalah heran, ”Masih ada banget… masa enggak tahu sih?”
Dan tahukah Anda, apa yang paling membahagiakan menjadi pengasuh majalah ”tua” ini? Ketika membaca pesan pendek dari pembaca, ”I lv you… Intsr”.