Dedy Tri Riyadi
Yesaya Meratapi Kebun Anggur
Kebun Anggurku, Kekasihku, Buah-buah Harapan
yang Manis dan Sempurna, akan kutinggalkan Kau
merana dan gersang, diliput semak duri, rumput,
dan puteri malu.
Kebun Anggurku, Kekasihku, Buah-buah Masam
yang kucampakkan ke luar pagar, telah kunantikan
Kau dalam geram dan kecemasan, di menara jaga,
di atas tembok, di lereng bukit subur.
Lihatlah, pagar duri telah runtuh,
awan hujan pun jauh,
dan pokok-pokok itu tak lagi beranting,
tak juga bersiang setiap carang.
Berteman angin kering,
aku setia menggemarimu,
mengitarimu, Kebun Anggurku.
Yeremia Meratapi Dua Kota
Puteriku, Anak-anak Luka
yang tak kunjung sembuh,
yang kepadaMu airmataku
tercurah siang dan malam,
janganlah kecewa!
Bukankah mereka tak berbeda
dengan patung-patung sesembahan
yang ada? Saling asing dan tak berbuat
apa-apa sepanjang musim, selain bergunjing:
”Ini luka siapa? Begitu nganga dan berdarah
sia-sia. Tak ada balsam dan tabib di sini.”
Puteriku, Bau busuk jasad
yang menguar, yang ingin kutinggalkan
namun tak bisa, bertahanlah!
Lidah-lidah mereka lihai berdusta,
memanah dada sendiri dengan janji
setia: ”Ini kota-kota kami yang suci.
Tak ada yang busuk di sini. Dan
Tuhan adalah Raja kami.”
Menangislah Puteriku,
menangislah sekeras suara ternak
yang berlari, sepilu sisa-sisa senyap
dari puing-puing kotaku, biarlah
serigala-serigala itu datang,
dan segala gunung termenung,
dan segala padang terdiam,
dan kota-kota ini terhalang
dari segala rancangan di mata mereka.
Yehezkiel Meratapi Sang Faraoh
Gelisahlah Kau, Rajaku, Binatang ganas
yang telah memangsa tubuhku, yang
kepadaMu sebuah jaring telah kukembangkan.
Di dalam pukat, tubuhMu bukan lagi
milikMu sendiri. Lumpur laut dan sungai
begitu lekat, begitu pekat. Sebagai rakyat,
aku tak akan dapat mengenaliMu lagi.
Menggigillah Kau, Penguasaku,
Kepak burung yang bergemuruh
di langitku, yang di tubuhMu hinggap
segala keluhan.
Seperti gemintang, tubuhMu akan dibilang,
agar dicukupkan lapar kami: para binatang,
dan sampai waktunya, tak dapat lagi
Kau pandang langit dan bulan.
PedangMu, Tuan, kepunahan bangsaMu,
yang tertanam dalam kubur para Raja
dan Pahlawan. Dari Asyur, Elam, Mesekh,
dan Tubal. Yang Kautusukkan bersama
tubuhMu sendiri. Sedalam-dalamnya.
Dan aku pun terbaring di sini, Rajaku,
dalam ketakutan yang begitu hidup,
dalam kekalutan yang tak ingin redup.
Bersama mereka yang mati muda,
dalam patahan pucuk piramida.
2024
Cyprianus Bitin Berek
Dialah tiang garam itu: tanda perjanjian sia-sia,
hati yang terikat masa lalu.
Tak habis-habis tertiup angin sejarah.
– Jangan salahkan bila langkahku tertatih, Abang.
Memang lamban aku dan tertinggal selalu
karena encok yang kronis mengikat sendiku,
tambun tubuh menghimpit nafasku.
Jangan paksa aku berlari tergesa
sedang jiwaku tertambat hanya
di alun-alun kota
dibuai romansa masa silam.
Mengapa kita harus kabur sepagi ini?
Hari ini memang sungguh celaka,
tapi esok bukan hal yang selalu pasti.
Abang memang pendatang belaka,
kelana tanpa kenangan.
Sedang diriku asli Sodom
berbekas hingga sumsum.
Betapa bisa kulupakan tanah ini?
Kanak-kanakku terukir di pohon-pohon
dan kilau remajaku di tembok kota.
Betapa kutinggalkan sanakku mati terbakar?
(Pula kekasih-kekasih masa lalu).
Jangan paksa aku berlari
ijinkan saja kuberjalan perlahan
mengurai berkas hari-hariku lewat
kendati luka memerih jantung.
+ Mari bergegas, mari Ibu!
Kota pekat asap belerang
udara mengumbar daging terbakar.
Aduh panasnya, Ibu.
Panas inti mentari.
Cepat sambarannya pedang malaikat.
Jangan terkejar bayangnya, Ibu!
Jangan terjilat lidahnya merah.
– Panas api inti mentari
terbawa angin melarikan diri
membawa kabar paling sial.
Habis sudah Sodom Gomora!
Kota segala kesenangan.
Tiada lagi aroma anggur
tiada lagi tarian menggoda.
Tiada cekikikan dan desah manja.
Berakhir sudah, berakhir sudah.
Duhai sanakku, duhai sahabat.
Duhai segala yang indah untuk dinikmati.
Terbawa duka paling hitam
terpanggil kenangan paling pekat
perempuan itu menoleh.
Seketika kakinya terpancang.
”Abang, tak lagi ku bisa melangkah!”
Tapi suara tak terucapkan,
asin ditelan ludah sendiri. Sangat asinnya.
Mengaliri sekujur tubuh.
Tak lagi bergerak ia
dengan pandangan ke belakang.
Dihempas angin abad ke abad.
Amis dan bergaram selalu.
Cyprianus Bitin Berek pernah menjadi reporter dan menulis untuk beberapa media massa lokal di Timor, Nusa Tenggara Timur (NTT). Sekarang ia bekerja di Flores, NTT.
Dedy Tri Riyadi lahir di Tegal, Jawa Tengah, dan kini tinggal di Jakarta. Puisinya pernah diterbitkan (bersama karya Inez Dikara dan Maulana Achmad) dalam buku Sepasang Sepatu Sendiri dalam Hujan (2008).