Fitri Yani
Bisikan Bisma
demi sumpahku kepada cahaya
dari utara
telah kuciptakan kekosongan
di kedalaman mataku
kubuang segala pikat asmara
dari kekasih paling memabukkan sekalipun
maka pulangkanlah semua tabib
dan tinggalkan aku sendiri di Kurusetra
dalam hening akan kulepas diriku
dari segala prasangka
dalam dingin akan kubiarkan waktu
mengambang di cakrawala
semoga kelak kau paham
mengapa cinta selalu menuntut kata percaya.
Juli, 2024
Fitri Yani
Lukisan
saat kamu dan dia bersatu, benda-benda di sekitarmu
seketika akan berada dalam lukisan seorang perenung
yang senantiasa bersaksi dan menunggu
bersaksi atas luka di telapak kakimu
menunggu hilangnya segala jenis debu
yang singgah di tubuhmu
lukisannya adalah himpunan warna
yang terlihat bagaikan fajar di balik pegunungan
di dalamnya, ada satu titik yang akan selalu
membuatmu bertanya, itukah inti kemarau
ataukah pemilik cahaya yang kerap singgah di dadamu
perjalanan yang mengantarkanmu kepada dia
baginya seperti garis lurus yang tak pernah ia beri warna
apatah lagi nama
ketika semua warna dalam lukisannya menjadi abu-abu
pada saat itu pula ia akan mundur perlahan
membiarkan semua benda keluar dari lukisannya
dan kembali ke tempat semula
maka kekallah kamu dan dia yang berdekapan
di dalam lukisan itu.
2009-2024
Guri Ridola
Sembilan Puluh Sembilan Sembilu
Sembilan puluh sembilan sembilu di meja tamu
Dan segelas air jeruk dingin yang baru kau peras
Di kaca meja kulihat mata kita
Memisah dan berjalan meraba-raba
Pertemuan hanyalah es batu dalam gelas
Yang luruh tanpa kita sentuh
Sebelum utuh jadi air
Ia tumpah ke atas lidah
Aku mengeluarkan satu sembilu dari lambung
Ketika es batu belum sepenuhnya cair
Di dinding almanak ditiup angin sore
Di lembar belakangnya potret kucing
sedang menjilati bulu-bulunya yang basah
Batusangkar, 2024
Guri Ridola
Batang Air
Ia hanya mengalir
Tidak mengenal pasang surut
Tanpa aur tebing memerah
Serupa wajah lelaki pemancing
yang menggenggam joran kayu
Kincir air tak kenal lagi lumut
Ia telah berkarib rayap dan semut
Kijang air berenang lambat
Dekat mujair yang melarat
Batu-batu kecil menjadi rumah-rumah batu di seberang
Tempat seorang puan resah menunggu lelakinya pulang
Walau di batang waktu ia mulai bertubuh sungai
Mulai lelah membasahi reranting hingga dedaunan
Untuk buahnya yang akan jadi karib ikan dalam rumah batu
Ia tetap batang air, batang air
Yang mengalir dan tak mengenal pasang surut
Batusangkar, 2024
Guri Ridola
Megalomania
: Marhalim Zaini
Seorang pemancing yang berjalan ke hulu
Setelah membaca isyarat pasang di muara
Melempar pancing bermata tiga
Satu mata menancap di bajunya
Sambil menanti, ia terus bergumam
“Semakin besar umpan, semakin besar ikannya”
Jaring batu dalam ingatannya membatu
Akan dibenamkannya ke kepala nelayan menjelang malam
Agar esok pagi para istri bersuka-ria menyambut suaminya
Dalam kepalanya ikan-ikan duyung berenang lelah
Ia juga menyimpan sebuah kursi dalam kepalanya
Goyangan kursi itu serupa bandul jam
yang memikat hati tubuh-tubuh yang resah
Pada tubuh-tubuh itu ia berkata
“Masuklah ke dalam kepalaku, lelahmu akan luruh”
Fitri Yani, lahir 28 Februari 1986, adalah alumnus FKIP Universitas Lampung. Buku puisinya yang akan segera terbit berjudul Dermaga Tak Bernama. Ia tinggal di Bandar Lampung.
Guri Ridola, lahir di Batusangkar, Sumatera Barat, 1 Juli 1988. Ia mahasiswa Ilmu Perpustakaan Universitas Diponegoro, Semarang.