memasuki pintu, menaiki tangga, tiba di ruangan tertinggi sebuah gedung: ruangan berdinding coklat pala, beberapa lukisan hewan tergantung di dinding-dindingnya, sebuah cermin bundar roda, sepasang jendela kaca berukuran dua kali tinggi orang dewasa menghamparkan panorama: suatu bukit berwarna api seperti akan padam oleh laut yang berhempasan di kakinya. kapal berlayar, kapal bersandar, kapal terbakar: asapnya berpencar di udara, mengapung, membentuk gerombolan burung, menjalar bagai jalan sunyi tak berujung: jalan yang meletakkan ingatanku lagi pada jalan yang kulalui saat menuju gedung ini.
berpagar pohon-pohon bungur yang bunganya gugur, aku seolah melangkah di permadani warna anggur. di kananku, kau berjalan dan berkata kau tak lagi ingin memelihara hewan. di kirimu, aku berjalan tanpa suara apalagi tangisan. tiba di perempatan kita berdiri berhadapan. kau memandangku, aku melihat matamu. katamu, selamat tinggal, hewan. aku menatap kau pergi tanpa suara, tanpa kata, tanpa tanda. jalan yang kutempuh menuju gedung ini semakin sunyi. aku ingin singgah di kedai tempat kau biasa minum-minum, namun tempat itu hanya terbuka bagi suatu kaum. di atas permadani panjang berwarna anggur, aku berjalan menghitung uang yang kau lempar ke wajahku setelah kau selesai dengan tubuhku. bunga-bunga bungur yang gugur, warna matahari yang nyaris luntur, menemani perjalananku ke gedung ini.
aku mencarimu, memasuki pintu, menaiki tangga, tiba di ruangan tertinggi, dan kau tak ada, hanya ruangan berdinding coklat pala dengan lukisan-lukisan hewan yang tergantung di tembok, cermin bundar roda, sepasang jendela kaca berukuran dua kali tinggi orang dewasa. ruangan ini menjelma peti tak terkunci, dinding-dindingnya menggemakan teriakan, tangisan, tembakan, tamparan, desah persetubuhan. lukisan-lukisan hewan yang terpaku di tembok seperti mengganti sendiri gambar dirinya dengan coretan-coretan abstrak bermakna tak tertebak. pada cermin berbentuk roda, aku melihat jelas gerakan tanganmu menjambak rambutku, sebelum ke ranjang, tubuhku kau hempaskan. tangan yang ribuan kali membelai sekaligus membantai, tangan yang kucintai tetapi menistai.
dari sepasang jendela kaca kusaksikan sebukit api melontar percik-perciknya. ah, aku mencintai api, mencintai diriku, juga mencintai dirimu. kita terlahir pasti karena dan untuk sebuah alasan. sepanjang jalan, bersama bunga-bunga bungur yang gugur dan warna matahari yang luntur, alasan kelahiranku telah kutetapkan: di ruangan yang menjelma peti, di tempat aku biasa disetubuhi dan diludahi ini, aku akan membakarmu. bayangkan, betapa bahagia menyaksikan semua yang kucintai bersatu: api, kau, dan aku yang ribuan kali kau sebut hewan.
Inggit Putria Marga
di atas kepala
langit perak
awan berarak
di bawah tapak
permadani pasir
koyak
tertangkap mata
kelebat yang tak tampak:
tangan-tangan maut
mengangkat tepi laut jadi ombak
terbanting berkeping
bagai kelapa remuk di semak
dalam tubuh
jantung dingin berdetak
dalam pikiran
kenangan beranak pinak:
kematian anak
beras tumpah tak tertanak
hidup tak bersanak
nestapa getarkan pundak
mengikuti jalan angin
kaki terus bergerak
memasuki laut
: muara segala kehendak
A Mustofa Bisri
kesiur angin dan gemercik gelombang diterjang lancip hidung perahuku
kukira kelakar mereka yang menggunjingkan mabukku padamu
maka bintang-bintang yang berkedip-kedip di langit seperti mengejekku
tapi tak kuhiraukan aku tetap mengayuh sambil menutup dengan jemari kakiku
lobang-lobang pada dinding-dinding perahuku
yang dibuat khidir mengecoh lanun yang akan merampokku
sebelum ikan pepes sisa bekal musa meloncat ke samodera takjubku
haruskah aku membunuh bocah tak berdosa
menegakkan tembok nyaris runtuh secara sukarela
atau sekedar terus bertanya akan makna-makna
sebelum aku memutuskan akan ikut siapa
khidir atau musa?
Rembang, 15042010
A Mustofa Bisri
kureguk anggur abu nuwas hingga puas
kuminum bir tardji hingga lupa diri
sambil bertanya-tanya apakah dalam mabuk
abu nuwas dan tardji hilang bentuk?
tapi ku tak mabuk-mabuk juga
hanya terlena sekejap lalu terjaga
terlena sekejap lalu terjaga
tak sampai fana
jangan-jangan jalanku tak menujuMu
juga.
2007
A Mustofa Bisri telah menghasilkan sejumlah buku puisi, antara lain Ohoi: Kumpulan Puisi Balsem (1991), Wekwekwek (1996), Negeri Daging (2002), dan Gandrung: Sajak-sajak Cinta (2000/2007). Ia bermukim di Rembang, Jawa Tengah.
Inggit Putria Marga lahir di Tanjung Karang 1981. Ia menetap di Bandar Lampung. Buku puisinya adalah Penyeret Babi (2024).