Anak Panah Hujan
Mugya S Santosa
tanah telah lama mengandungmu
dan kini hujan membangunkannya.
hijau tubuh pulau-pulau
menyusut dalam kepungan seluruh angin
yang menyentuhkan jemari basahnya.
memanggilkan ruh batu-batu
segenap duri yang dikandung
tumbuhan, mencuri luka
mencecap nyeri
dari kita.
hunian langit
sekokoh mawar menatap ngilu
kabut seperti daun pandan yang
menabur wanginya saat meneteskan embun.
riuh sungai-sungai menggetarkan ngarai.
abu menegur dingin
di tungku perapian,
memastikan tanggal
dan hari yang tepat untuk mencium
mautnya.
dari lanskap hujan
gedung-gedung berteriak
jalan raya menggigil
melajulah musim
menjadi putaran planet
bagi semesta kecil
di ubun-ubun perih.
bergetarlah tubuhmu
sampai kutemukan apa yang dicari
kayu-kayu, ladang dan hutan jati
menjadilah, sejadi darah yang ungu
pada urat nadi.
merubuhkan hujan
pada got-got dan selokan
yang mengalirkan masa lalu.
menjeritlah, selagi masih terbaca
huruf-huruf yang api pahatkan
pada arang.
selagi asap-asap membentuk
busur dan anak panah
siap menancapkan
dosa pada cengkeram tangan kita.
2024
Mugya S Santosa
geruslah aku yang berdiam
menguratkan kesepian.
mencair dari sulur-sulur
riak yang tak pernah
lungsai.
pengembara yang singgah
di relung-relung maut, sementara
ikan-ikan menebus dosanya
padaku,
mengecupkan bibirnya
yang selembut lumut.
lekuk jalan sepanjang tepian
merambati pori-pori hitam
sekusam kulit damar.
angin menari-nari dalam pusaran
menggeletak aku dalam arus.
berjejalan menjejaki duri.
selama api belum bisa
meleburku, aku tak pernah
ingin beranjak pergi.
2024
Iyut Fitra
hanya mobil satu-satu. padang ilalang kuning
pohon pandan dan kayuputih memperkenalkan bayang. entah kenapa
aku sampai di rumahmu. hampir malam
daging biri-biri dan sepotong goreng labu. kita pun bersulang
“selamat datang di hutan dan ceruk kecil kami!” segelas anggur merah
dan potret perburuan mengantar pada balik-lembar cerita
paginya teratai kembang. kulihat waktu dan angin berselisihan
sekejap berpeluk sebelum mengucap selamat jalan
kausempat membawaku ke pantai. jauh di utara dan tepat sebelah
barat kota darwin. harney si penyair pencinta laut
sepulangnya kutuliskan sesuatu di pelepah bakau dan sebongkah
batu karang. “dengan apa jarak dihitung setelah ini?”
hanya mobil satu-satu. padang ilalang kuning
matahari rendah kadang meninggi. begitu pula aku harus pamit
pada hari pagi
Mei 2024
Iyut Fitra
hampir magrib aku sampai di kotamu
sebelumnya kulihat hutan sudah menepi, sisa asap dan petak-petak rapi
kubayangkan seekor burung kepanasan dan yang lain terbang
dengan sayap terbakar. seolah bau dedaun dan ranting tinggal cerita
kawanan yang tak punya rumah. arah sungsang kehilangan sarang
ke mana rimbun itu dibawa?
seperti biasa, malamnya kita duduk di batanghari
jagung bakar dan segelas air tebu. kata-kataku mati, puisi di sini hanya barisan
mayat-mayat tak berarti, katamu seolah ingin membuang semuanya
di seberang, penduduk asal mungkin airmatanya lebih. mungkin perih
mengalir ke sungai ini
dan juga bertanya, ke mana rimbun itu dibawa?
Jambi, 2024
Iyut Fitra lahir di Payakumbuh, Sumatera Barat. Kumpulan puisinya adalah Musim Retak (2006) dan Dongeng-dongeng Tua (2009).
Mugya S Santosa lahir 3 Mei 1987 dan tinggal di Cianjur, Jawa Barat. Ia pernah belajar pada Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Surya Kencana, di kota kelahirannya.