Wayan Sunarta
Lelaki Berkalung Tulang Duyung
lelaki berkalung tulang duyung itu
datang padamu membawa serpih-serpih mimpinya
malam berjubah biru menyeret lelah langkahnya
tiba di ambang pintumu
kau menerimanya sebagai kekasih
entah yang keberapa
lelaki berkalung tulang duyung
mencium keningmu
merenungi harum rambutmu
terbata kau berkata:
aku lahir sebagai titisan peri sungai musi
di kota kembang aku meradang
tak satu pun lelaki mau mengakuiku
mereka hanya ingin menggauliku
menyerap panas tubuh
dan mencecap asin keringatku
lelaki berkalung tulang duyung
tercenung di ranjang
tubuhku hanya dermaga
bagi lelaki yang letih setelah pelayaran jauh
mereka hanya ingin singgah
sejenak melepas lelah
mungkin kau salah satunya
lelaki berkalung tulang duyung
menerawang ke jejaring matamu
ada duka maha kelam
terperangkap bertahun-tahun di situ
aku hanya inginkan cinta
namun tiada jua kutemui
di tanah dewata pun tiada
semua cinta telah lesap
ke dalam air mata
lelaki berkalung tulang duyung
termangu, meraba arah kata
yang menjalar dari bibirmu
kita hanya dipertemukan sepi
sepimu dan sepiku
kita hanya kangen melengkapkan perjamuan
dan hasrat purba yang meletup dalam jiwa
tapi tak akan pernah ada
kepastian, tiada jua kemungkinan
lelaki berkalung tulang duyung
meraba bibirmu yang gemetar
menahan deras kata-kata berlumur duka
aku ingin sembunyi di dalam gua paling gelap
atau mengubur diri dalam tanah paling kelam
hingga cahaya tak menyentuh mataku lagi
lelaki berkalung tulang duyung
terperangah
kemudian diam
tak mampu berkata-kata
malam menelan
kesepian mereka
(11 Juli 2023)
Wayan Sunarta
Gasing
dindaku, putri cermin cina,
cinta kita hanya fana
hanya sekelumit tatap mata
ketika aku tiba di negerimu
ketika ayahandamu, sutan mambang matahari, merestui kita
ketika tuan muda selat ingin mengujiku
dalam permainan gasing kegemaran kami
aku tahu cinta kita akan sampai
dinda, abadi cinta kita
seperti putaran gasing
yang bukan petaka, melainkan tanda
ketika gasing itu membentur keningmu
maka keabadian perlahan terbuka
dan tergurat di jiwaku
aku menyusulmu
bukan ke pelaminan atau peraduan penuh tilam
dan selimut beludru bersulam benang emas
aku menyusul hayatmu yang lenyap
bagai asap di tungku perapian
berjalan bergandengan ke negeri akhirat,
negeri abadi yang dijanjikan
bila kita ditakdirkan lagi berjumpa di bumi fana
maka dari seberang, dari dusun senaning
aku senantiasa merindukan bayang wajahmu
jelita yang membias di tepi sungai,
kepedihan yang meruap ke langit jambi
sesekali kita bisa menjenguk ayahanda
yang semayam di dusun tengah lubuk ruso
atau bertandang ke kampung selat
penuh harap menatap cakrawala
tiada lagi rasa bersalah, tiada lagi dosa
sebab semua telah dinujumkan
segalanya akan kembali berputar seperti gasing
kita tiada paham di mana putaran itu akan berakhir
kita tiada mampu meraba arah takdir
semua penuh kemungkinan
sebab hidup seperti permainan gasing
(2023)
A Muttaqin
Layar Sepijar
Dia setabah jantung cahaya,
berlayar dari bunga ke luka.
Dia hanya mata bangka,
terhunus
terus
ke tengah,
seolah memenuhi panggilan pembawa warta,
dan lambaian rahasia.
Sementara,
malam telah menarik segala satwa,
hingga sepi leluasa memilikinya,
seperti satu gigi yang tinggal
di mulut Gerhana.
(2023)
A Muttaqin
Kerang Kasmaran
Di kedalaman ini, aku masih merindukanmu:
Kau yang hanya putih,
putih yang tak pandai mimpi,
putih yang lebih tenang timbang ragi,
putih yang tak menyimpan iri
pada warna-warni taman ini,
putih yang tak sembarang
memberi getah mani
pada liuk luka, atau aku, yang terbuka
serupa garba sepi, sendiri, di taman laut ini.
Sebab, kau hanya jamur, terlalu pupur
menampung geliat gatal
yang tak terlipur angin libur.
(2023)
A Muttaqin
Ciuman Cucut
Sebelum aku dikhianati,
berikan ciumanmu, yang rinai
seperti ciuman Yudas yang tak mengerti
kenapa laut tak pernah letih menepi
dan ikan-ikan tetap seamis birahi
biar seumur-umur ia mencuci diri.
Ciumlah,
selagi laut tertidur, dan cumi-cumi merebak ke
dasar mimpi, lalu
menghitami mahkota duri
yang akan aku kenakan,
sebelum tersalib di batu-batu karang.
Sementara, kau terus berkibaran,
seperti sobekan kafan yang tak bosan-bosan
mengelabui isi lautan
(2023)
A Muttaqin
Pasir Terukir
Siapa suka mengukir pasir,
akan sampailah ia ke pinggir:
tempat di mana burung-burung
tak (lagi) takut terkurung,
dan perahu pemburu
tersangkut
di puncak kabut:
mungkin itu rumah senja,
mungkin sarang bianglala,
tapi apa bedanya?
Seorang tualang
bukan juru peta,
dan kitab angin yang dikhatamnya,
adalah rangkaian cinta
dari codot-codot yang terus setia,
tanpa rumah.
(2023)
A Muttaqin
Piaraan Pantai
Aku mengenal sungai,
setua bumi,
sedekat urat nadi.
Di dadaku,
udang dan ganggang masih silang terkembang. Tapi,
jauh di bawah pusar, tempat laut dalam tak sadar,
seorang lelaki
berjubah lunglai
membungkuk,
mencucup lubang gaib, di mana senja mengintip, mirip Singa Buta, penunggu Sungai Tua.
Sedang, di sekelilingnya,
angsa-angsa mengerami mimpi,
seperti menggarami pandangku
dengan bibit sunyi,
yang lebih panjang
dari Mississippi.
(2023)
A Muttaqin lahir di Gresik, Jawa Timur, 11 Maret 1983. Lulusan Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ini bergiat di Komunitas Rabo Sore dan bekerja sebagai editor pada sebuah penerbit di Surabaya.
Wayan Sunarta lahir di Denpasar, 22 Juni 1975. Buku kumpulan puisinya adalah Pada Lingkar Putingmu (2005), Impian Usai (Agustus 2007), dan Malam Cinta (Desember 2007).